Vitamin A Pada Ibu Nifas

Tanggal 12 Januari 2010



Pentingnya Vitamin A bagi Ibu Nifas

Pemberian kapsul vitamin A ibu nifas (melahirkan) memiliki manfaat penting bagi ibu dan bayi yang disusuinya. Tambahan vitamin A melalui suplementasi dapat meningkatkan kualitas ASI, meningkatkan daya tahan tubuh, dan dapat meningkatkan kelangsungan hidup anak. Oleh sebab itu, pemerintah di tingkat kabupaten dapat meningkatkan kualitas kesehatan ibu dan anak dengan cara memperkuat program vitamin A ibu nifas.
Pentingnya Vitamin A
Vitamin A telah diketahui dapat melindungi timbulnya komplikasi berat pada penyakit yang biasa terjadi pada anak-anak seperti campak dan diare, dan juga berfungsi melindungi mata dari Xeropthalmia dan buta senja.
Pada ibu hamil dan menyusui, Vitamin A berperan penting untuk memelihara kesehatan ibu selama masa kehamilan dan menyusui. Buta senja pada ibu menyusui, suatu kondisi yang kerap terjadi karena Kurang Vitamin A (KVA).
Berhubungan erat dengan kejadian anemia pada ibu, kekurangan berat badan, kurang gizi, meningkatnya risiko infeksi dan penyakit reproduksi, serta menurunkan kelangsungan hidup ibu hingga dua tahun setelah melahirkan.
Semua anak, walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus gizi baik dan tinggal di negara maju, terlahir dengan cadangan vitamin A yang terbatas dalam tubuhnya (hanya cukup memenuhi kebutuhan untuk sekitar dua minggu). Di negara berkembang, pada bulan-bulan pertama kehidupannya, bayi sangat bergantung pada vitamin A yang terdapat dalam ASI. Oleh sebab itu, sangatlah penting bahwa ASI mengandung cukup vitamin A.
Anak-anak yang sama sekali tidak mendapatkan ASI akan berisiko lebih tinggi terkena Xeropthalmia dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ASI walau hanya dalam jangka waktu tertentu. Berbagai studi yang dilakukan mengenai Vitamin A ibu nifas memperlihatkan hasil yang berbeda-beda.
Tetapi, sebuah studi yang dilakukan pada anak-anak usia enam bulan yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A setelah melahirkan, menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus demam pada anak-anak tersebut dan waktu kesembuhan yang lebih cepat saat mereka terkena ISPA.
Ibu hamil dan menyusui seperti halnya juga anak-anak, berisiko mengalami KVA karena pada masa tersebut ibu membutuhkan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan produksi ASI.
Rabun senja merupakan indikator fungsional yang penting dari masalah KVA. Pada anak-anak pra-sekolah, tingkat rabun senja diatas 1 % merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dengan menggunakan ambang batas yang sama untuk wanita yang tidak hamil, data terbaru dari survey sistem pemantauan status gizi dan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah RI dan Helen Keller Internasional (HKI) menunjukkan bahwa banyak provinsi di Indonesia memiliki tingkat rabun senja diatas 2 % pada ibu tidak hamil.
Bahkan, di daerah kumuh perkotaan di Makassar, hampir 10 % dari ibu tidak hamil mengalami rabun senja. Tingginya prevalensi tersebut menunjukkan bahwa KVA merupakan masalah potensial bagi ibu serta bayi yang disusuinya di Indonesia.
Penanggulangan KVA Pada Ibu Menyusui
KVA dapat ditanggulangi dengan berbagai cara, seperti forfikasi berbagai produk makanan, peningkatan ketersediaan dan konsumsi makanan yang mengandung vitamin A melalui pemanfaatan pekarangan, serta dengan suplementasi. Vitamin A ditemukan pada makanan yang biasa dikonsumsi di Indonesia, seperti telur, hati, buah-buahan berwarna oranye, seperti mangga dan papaya masak, serta sayuran berdaun hijau.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan asupan vitamin A adalah dengan menggalakkan promosi sumber makanan-makanan tersebut. Selain itu, beberapa produsen makanan saat ini secara sukarela telah memfortifikasi produk tertentu seperti beberapa merk mie instant, makanan ringan serta susu bubuk dengan vitamin A.
Namun, setelah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, banyak keluarga tidak lagi mampu menyediakan makanan bergizi, termasuk makanan yang mengandung vitamin A, baik dari sumber alami maupun fortifikasi. Program suplementasi vitamin A untuk balita masih merupakan faktor penting dalam memelihara status vitamin A pada anak balita.
Di Indonesia, program suplementasi kapsul vitamin A telah berhasil menjangkau anak balita usia 6-59 bulan dengan cakupan yang meningkat dari dibawah 50 % di beberapa provinsi pada tahun 1999 hingga mencapai lebih dari 70 % pada tahun 2002 di banyak provinsi.
Manfaat Suplementasi Vitamin A
Berbeda dengan hampir semua komponen dalam ASI, yang secara relatif ada dalam jumlah yang sama, konsentrasi vitamin A dalam ASI sangat bergantung pada status gizi ibu. Pemberian kapsul vitamin A pada ibu setelah melahirkan dapat meningkatkan status vitamin A dan jumlah kandungan vitamin tersebut dalam ASI.
Rendahnya status vitamin A selama masa kehamilan dan menyusui berasosiasi dengan rendahnya tingkat kesehatan ibu. Pemberian suplementasi vitamin A dosis rendah setiap minggunya, sebelum kehamilan, pada masa kehamilan serta setelah melahirkan telah menaikkan konsentrasi serum retinol ibu, menurunkan penyakit rabun senja, serta menurunkan mortalitas yang berhubungan dengan kehamilan hingga 40 %.
Pemberian kapsul vitamin A bagi ibu nifas dapat menaikkan jumlah kandungan vitamin A dalam ASI, sehingga akan meningkatkan status vitamin A pada bayi yang disusuinya. ASI merupakan sumber utama vitamin A bagi bayi pada enam bulan kehidupannya dan merupakan sumber yang penting hingga bayi berusia dua tahun.
Pedoman Internasional Pemberian Vitamin A
Pada bulan Desember 2002, The International Vitamin A Consultative Group (IVACG) mengeluarkan rekomendasi bahwa seluruh ibu nifas seharusnya menerima 400.000 SI atau dua kapsul dosis tinggi @ 200,000 SI. Pemberian kapsul pertama dilakukan segera setelah melahirkan dan kapsul kedua diberikan satu hari setelah pemberian kapsul pertama dan tidak lebih dari 6 minggu kemudian.
Sebagai tambahan atau sebagai alternatif, ibu pasca melahirkan dapat mengkonsumsi vitamin A dosis 10.000 SI setiap harinya atau 25.000 SI sekali seminggu selama 6 bulan pertama, guna meningkatkan status vitamin A dalam tubuhnya. Oleh karena itu, saat ini pemerintah sedang melaksanakan studi operasional untuk meningkatkan cakupan pemberian kapsul vitamin A dosis 2 X 200.000 SI pada ibu nifas.

KONSEP BALITA

2 Jan 2011
1. Pengertian Balita 
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2006). Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010),  Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun).  Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode
selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan. 
2. Karakteristik Balita 
Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1  – 3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004).  Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih  makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah  playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan. Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relative lebih banyak mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki.
3. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni:
a. Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah (sefalokaudal). Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung  kaki, anak  akan berusaha menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan belajar
menggunakan kakinya.
b. Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya adalah anak akan lebih dulu menguasai penggunaan  telapak tangan untuk menggenggam, sebelum ia mampu meraih benda dengan jemarinya.
c. Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar  mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar, menendang, berlari dan lain-lain. 
Menurut Soetjiningsih (2005) walaupun terdapat variasi yang besar, akan tetapi setiap anak akan melewati suatu pola tertentu yang merupakan tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan sebagai berikut :
a.    Masa prenatal atau masa intrauterin ( masa janin dalam kandungan )
1)   Masa mudigah/embrio : konsepsi sampai 8 minggu2)   Masa janin/fetus : 9 minggu sampai lahirb.    Masa bayi : usia 0 sampai 1 tahun
1)   Masa neonatal : usia 0 sampai 28 hari yang terdiri dari masa neonatal dini yaitu 0-7 hari dan masa neonatal lanjut yaitu 8-28 hari2)   Masa pasca neonatal : 29 hari sampai 1 tahunc.    Masa prasekolah (usia 1 sampai 6 tahun)
Klasifikasi umur balita menurut Murwani (2009) yaitu:a.    Masa prenatal yang terdiri dari dua periode yaitu masa embrio dan masa fetus (usia 0-9 bulan)
b.    Masa neonatal (0-28 hari)
c.    Masa bayi (29 hari-1 tahun)
d.   Masa batita (1-3 tahun)
Masa balita (3-5 tahun).

EFEKTIVITAS POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP
KEBERHASILAN TOILET TRAINING DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJADIAN ENURESIS PADA ANAK USIA PRASEKOLAH (4-6 TAHUN) DI TK WAHID HASYIM MALANG
Undergraduate Theses from JIPTUMMPP / 2006-09-18 10:20:16
Oleh : WIDA SRI USTARI (03010008), Nursing
Dibuat : 2006-09-18, dengan 3 file

Keyword : Pola Asuh Orang Tua, Pendidikan, Pengetahuan, Toilet training, Usia prasekolah, Keberhasilan.
Url : http://
Latar Belakang: Toilet training merupakan usaha orang tua melatih agar anak dapat mengurusi diri sendiri saat buang air besar atau kecil. Namun sekitar 44 % anak masih mengalami permasalahan buang air kecil (enuresis atau mengompol),
sehingga dari masalah tersebut pola asuh orang tua melatarbelakanginya padahal pengeluaran air kemih merupakan suatu proses yang dapat dikendalikan baik waktu dan tempatnya sehingga anak yang bermasalah dengan toilet training dapat
disebabkan oleh orang tua maupun kesiapan anak sendiri yang kurang. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bermaksud untuk memaparkan atau mendeskripsikan pola asuh orang tua terhadap keberhasilan toilet training. Pengambilan sampel secara sampling aksidental yaitu 40 orang tua dari anak usia 4-6 tahun yang belajar di TK Wahid Hasyim Malang,bersedia
menjadi responden dan sesuai dengan keinginan peneliti. Pola asuh orang tua dan
keberhasilan toilet training diukur dengan menggunakan kuesioner kemudian disimpulkan berdasarkan keterangan dengan analisa deskriptif. Dan hasil dari penelitian ini adalah bahwa kategori dengan pola asuh orang tua autoritatif didapatkan sebanyak 85 % dengan toilet training berhasil dan 15 % dengan toilet
training tidak berhasil, dan tidak didapatkan pola asuh orang tua yang otoriter,
pemanja, ataupun penelantar, dari segi pendidikan didapat sebanyak 64,3% orang tua yang berpendidikan tinggi berhasil melakukan toilet training dalam upaya pencegahan enuresis, dari segi pengetahuan didapat sebanyak 73% yang berhasil toilet training dalam upaya pencegahan kejadian enuresis pada anak, sehingga dari keterangan tersebut dapat diperolehkesimpulan bahwa pola asuh orang tua autoritatif lebih efektif terhadap keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah(4-6 tahun ) di TK Wahid Hasyim Malang.
Deskripsi Alternatif :

Latar Belakang: Toilet training merupakan usaha orang tua melatih agar anak dapat mengurusi diri sendiri saat buang air besar atau kecil. Namun sekitar 44 % anak masih mengalami permasalahan buang air kecil (enuresis atau mengompol),
sehingga dari masalah tersebut pola asuh orang tua melatarbelakanginya padahal pengeluaran air kemih merupakan suatu proses yang dapat dikendalikan baik waktu dan tempatnya sehingga anak yang bermasalah dengan toilet training dapat
disebabkan oleh orang tua maupun kesiapan anak sendiri yang kurang. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bermaksud untuk memaparkan atau mendeskripsikan pola asuh orang tua terhadap keberhasilan toilet training. Pengambilan sampel secara sampling aksidental yaitu 40 orang tua dari anak usia 4-6 tahun yang belajar di TK Wahid Hasyim Malang,bersedia
menjadi responden dan sesuai dengan keinginan peneliti. Pola asuh orang tua dan
keberhasilan toilet training diukur dengan menggunakan kuesioner kemudian disimpulkan berdasarkan keterangan dengan analisa deskriptif. Dan hasil dari penelitian ini adalah bahwa kategori dengan pola asuh orang tua autoritatif didapatkan sebanyak 85 % dengan toilet training berhasil dan 15 % dengan toilet
training tidak berhasil, dan tidak didapatkan pola asuh orang tua yang otoriter,
pemanja, ataupun penelantar.sehingga dari keterangan tersebut dapat diperoleh
kesimpulan bahwa pola asuh orang tua autoritatif lebih efektif terhadap keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah(4-6 tahun ) di TK Wahid Hasyim Malang.